Jl. Perjuangan Kec. Kesambi, Kota Cirebon (0231) 489926 fua@uinssc.ac.id
Berita

Diskusi Seri Ke-10 PKSB FUA UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon: Mengupas Pemekaran Provinsi Maluku Utara dan Konflik Primordialnya

FUA Cirebon, 20 November 2024 – Pusat Kajian Sejarah dan Budaya (PKSB) Fakultas Ushuluddin dan Adab (FUA) UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon sukses menyelenggarakan diskusi seri ke-10 yang digelar secara daring melalui aplikasi Zoom. Diskusi yang berlangsung pada Rabu siang ini mengusung tema menarik, “Reformasi, Desentralisasi, dan Konflik Primordial dalam Sejarah Pemekaran Provinsi Maluku Utara.”

Acara yang dipandu oleh Muhamad Sidik, S.Hum., mahasiswa S2 Program Studi Sejarah Peradaban Islam, menghadirkan dua narasumber terkemuka, yakni Misbahuddin, M.Hum., Koordinator Program Studi SPI IAIN Ternate, dan Dr. Anwar Sanusi, M.Ag., Dekan Fakultas Ushuluddin dan Adab UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon.

Dr. Zaenal Masduqi, M.Ag., Direktur PKSB, dalam sambutannya menyampaikan bahwa diskusi ini merupakan bentuk komitmen PKSB untuk terus menghadirkan kajian akademis yang berkualitas. “Melalui tema ini, kami berharap dapat membuka wawasan tentang khazanah sejarah wilayah timur Indonesia, khususnya Maluku Utara, yang memiliki kekayaan budaya dan tradisi lokal serta pernah menjadi pusat peradaban Islam Nusantara,” ujarnya. Ia juga mengingatkan akan pentingnya memahami sejarah konflik agar dapat menjadi pelajaran bagi generasi mendatang.

Dalam pemaparannya, Misbahuddin, M.Hum. menjelaskan bahwa pemekaran wilayah Provinsi Maluku Utara pada era Reformasi tidak lepas dari Undang-Undang Desentralisasi tahun 1999. Proses ini, meskipun bertujuan untuk pemerataan pembangunan, melahirkan konflik primordial yang sangat kompleks. Ia mencatat bahwa perpecahan ini mengakibatkan lebih dari 5.000 korban jiwa dan memaksa sekitar 500.000 orang untuk mengungsi.

Lebih lanjut, Misbahuddin mengidentifikasi dua kelompok besar yang terlibat dalam konflik tersebut: kelompok formal yang terdiri dari Etnis Makian, Tidore, Bacan, dan Ternate Selatan, serta kelompok tradisional yang dipimpin oleh Mudzaffar Sjah dari Ternate dengan dukungan Dewan Adat Ternate dan Jailolo. “Pemekaran wilayah ini bukan hanya soal administrasi, tetapi juga tentang bagaimana kekuasaan lokal diperebutkan, yang diperparah oleh lemahnya kesiapan masyarakat terhadap perubahan,” tegasnya.

Sementara itu, dalam pemaparannya, Dr. Anwar Sanusi, M.Ag. menyoroti bahwa konflik primordial yang terjadi di Maluku Utara pasca-pemekaran wilayah mencerminkan kurangnya kesiapan sosial, budaya, dan politik dari masyarakat untuk menghadapi transformasi besar tersebut. Pemekaran wilayah, menurutnya, bukan hanya soal redistribusi kekuasaan administratif, tetapi juga mencakup pergeseran dinamika sosial, ekonomi, dan identitas budaya yang kompleks. “Pemekaran sering kali memperbesar ketegangan ketika elemen masyarakat merasa terancam secara politik atau dirugikan dalam distribusi sumber daya. Ketidaksiapan ini kerap menjadi lahan subur bagi konflik primordial yang bisa berkembang menjadi konflik terbuka,” paparnya. Ia juga menegaskan bahwa sejarah mencatat transformasi sosial, baik di tingkat lokal maupun global, selalu diiringi tantangan besar yang memerlukan pemahaman mendalam terhadap konteks sosial budaya masyarakat.

Dr. Anwar menekankan perlunya pendekatan inklusif dan berorientasi keadilan dalam setiap proses transformasi semacam ini. Ia mengusulkan agar pemerintah tidak hanya fokus pada aspek teknis pemekaran, tetapi juga memberikan ruang dialog antar kelompok masyarakat untuk mencegah ketegangan dan membangun harmoni sosial. “Pemekaran wilayah harus menjadi momentum untuk menciptakan kesetaraan dan memperkuat kohesi sosial, bukan memperbesar jurang perpecahan,” tambahnya. Dengan mengedepankan dialog lintas budaya dan pendekatan berbasis nilai-nilai kemanusiaan, pemekaran dapat menjadi solusi yang membawa manfaat jangka panjang bagi semua pihak.

Dalam sesi tanya jawab, Misbahuddin menambahkan bahwa konflik primordial di Maluku Utara bukan murni pertikaian antarpribumi dan pendatang. “Ada faktor elit yang saling berebut kekuasaan di wilayah baru ini, sehingga menciptakan stereotip negatif terhadap kelompok tertentu, seperti etnis Makian,” jelasnya. Ia juga menyampaikan keprihatinan terhadap minimnya kajian akademik terkait konflik ini akibat trauma masa lalu dan kekhawatiran akan potensi konflik baru.

Diskusi ini diakhiri dengan harapan agar kajian semacam ini dapat terus dilakukan untuk mengurai akar masalah tanpa memunculkan polemik baru, serta mampu menjadi referensi penting dalam memahami dinamika sosial-politik Indonesia di era Reformasi. Melalui diskusi ini, PKSB kembali menunjukkan perannya sebagai wadah intelektual yang relevan dalam membahas isu-isu sejarah dan budaya yang signifikan. Dengan dukungan para narasumber dan peserta yang antusias, diskusi seri ke-10 ini sukses menghadirkan wawasan baru terkait dinamika pemekaran wilayah dan dampaknya terhadap masyarakat lokal.